Candi Cangkuang Garut

Candi Cangkuang

 Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22 Bercerita mengenai daerah dengan julukan Swiss Van Java ini seakan tiada habis nya,berbagai potensi khusus nya di bidang pariwisata cukup melimpah terutama wisata alam.Keindahan alam nya bahkan menginspirasi para meneer meneer pada jaman kolonial sehingga menjuluki nya dengan Swiss Van Java. Di dorong pesona alamnya yang menarik para pelancong sejak jaman kolonial. Sejarawan dari Universitas Padjadjaran, Kunto Sofianto, mengatakan, beberapa tokoh terkenal yang pernah berkunjung ke Garut adalah Raja Leopold dari Belgia dan permaisurinya  Astrid, tahun 1928, bintang film Charlie Chaplin, serta penyanyi Jerman, Renate Muller dan Hans Albers.Dengan bentang alam yang demikian tidaklah mengherankan, Garut diberkahi tanah subur dan air berlimpah.sehingga kawasan ini cocok untuk berbagai jenis tanaman, mulai dari sayur hingga tanaman perkebunan, seperti kopi, teh, dan kina.Mengutip Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, Kunto menyebutkan, jumlah penduduk Garut tahun 1915 mencapai 15.000 orang. Lima belas tahun kemudian, jumlahnya menjadi 33.612 orang, terdiri dari pribumi 31.373 orang, Eropa 454 orang, China 1.683 orang, dan bangsa dari timur lain (Arab, India, dan Jepang) 102 orang.Hingga kini, Garut masih bertumpu pada wisata dan pertanian. Kota itu kini berpenduduk 2,4 juta jiwa (BPS, 2010).
Selain kaya akan kekayaan alam,tidak jauh dari pusat kota Garut,tepatnya di kampung Pulo,desa Cangkuang, kecamatan Leles terdapat sebuah bangunan yang di duga bekas candi Hindu. Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan laporan Vorderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad. Selain menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu-batu besar yang diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Penelitian selanjutnya (tahun 1967dan 1968) berhasil menggali bangunan makam.Walaupun hampir bisa dipastikan bahwa candiini merupakan peninggalan agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, Candi Cangkuang terdapat di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,5 ha.
m dengan tinggi 2,49 m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56 m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m dan 2,74 x 2,74 m yang tingginya 1,1 m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 m yang tingginya 2,55 m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 m yang dalamnya 7 m (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca(tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga.Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm & 45 cm (tinggi 6 cm dan 19 cm), tinggi 41 cm.Candi Cangkuang sebagaimana terlihat sekarang ini, sesungguhnya adalah hasil rekayasa rekonstruksi, sebab bangunan aslinya hanyalah 35%-an. Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah diketahui.
Keunikan lain nya di tempat ini ialah ada nya pemakaman muslim,yang letak nya tidak jauh dari bangunan candi,konon kabar nya makam ini merupakan makam arif muhamad,seorang pangeran pada masa sultan Agung.pada mula nya beliau berperang melawan VOC di Batavia,namun setelah selesai beliau beserta pasukan nya tidak kembali ke Mataram,namun memutuskan untuk tinggal di Leles sambil menyebarkan agama Islam.letak makam Arif Muhamad yang letak nya berdampingan dengan bangunan candi,merupakan sebuah simbol keragaman beragama namun tetap dalam satu harmoni.Peninggalan peninggalan Arif Muhamad bisa kita saksikan hingga saat ini,pihak pengelola candi Cangkuang sejak beberapa tahun lalu telah membuat Museum sederhana dengan koleksi barang barang peninggalan Arif Muhamad,selain itu terdapat juga beberapa koleksi lain nya.

Gerbang Kampung Pulo
Tidak jauh dari bangunan candi kita juga bisa mengunjungi sebuah kampung adat,yang di namakan kampung pulo. Di kampung Pulo inilah Arif Muhamad beserta pengikut nya tinggal dan menyebarkan agama Islam hingga wafat di sana.Beliau meninggalkan 6 orang anak Wanita dan satu orang pria. Oleh karena itu, dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat yang berjejer saling berhadapan masing- masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut.sampai saat ini ada beberapa ketentuan yang tidak boleh di langgar oleeh para pengunjung kampung Pulo yaitu :
Rumah Rumah Di Kampung Pulo

  • Dilarang berziarah pada hari rabu, bahkan dulu penduduk sekitar tidak diperkennankan bekerja berat,begitu pula Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu karena hari tersebut digunakan unutk mengajarkan agama. Karena menurut kepercayaan bila masyarakat melanggarnya maka timbul mala petaka bagi masyarakat tersebut.
  • Bentuk atap rumah selamanya harus mamanjang (jolopong)
  • Tidak boleh memukul Goong besar.
  • Khusus di kampong pulo tidak boleh memelihara ternak besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, sapi dan lain-lain.
  • Setiap tanggal 14 bulan Maullud mereka malaksanakan upacara adapt memandikan benda-benda pusaka seperti keris, batu aji, peluru dari batu yang dianggap bermakna dan mendapat berkah. Yang berhak menguasai rumah- rumah adapt adalah wanitadan diwariskan pula kepada anak perempuannya. Sedangkan bagi anak laki-laki yang sudah menikah harus meninggalkan kampung tersebut setelah 2 minggu.



Post a Comment

0 Comments