Terowongan Wilhelmina

Terowongan Wilhelmina ( sumber foto my pangandaran.com)

Terowongan Wilhelmina dibangun oleh perusahaan kereta api zaman Belanda, SS (Staats Spoorwegen) pada tahun 1914 dan mulai digunakan pada 1 Januari 1921. Nama Wilhelmina diambil dari nama seorang ratu dari Kerajaan Belanda yang memiliki nama lengkap Wilhelmina Helena Pauline Maria. Wilhelmina menjadi Ratu Kerajaan Belanda pada tahun 1890 hingga 1948. Berdasarkan situs resmi PT Kereta Api Indonesia (KAI), terowongan Wilhelmina merupakan terowongan kereta api terpanjang di Indonesia, tepatnya berada di jalur mati Banjar-Pangandaran-Cijulang.Terowongan Wilhelmina atau yang biasa disebut dengan Terowongan Sumber merupakan terowongan kereta api terpanjang di Indonesia. Terowongan ini memiliki panjang 1.116 meter dan dibangun untuk mendukung jalur kereta api rute Banjar-Pangandaran-Cijulang (82 km).(Wikipedia)
Namun tahukah Anda sejarah menarik dan misterius dibalik pembangunan jalur kerata api ini?Pembangunan terowongan Wilhelmina telah menyisakan kisah-kisah seru dan menyedihkan. Konon, pada tahun 1916, penggalian terowongan dan jembatan di daerah ini sempat terhenti karena tidak ada tenaga ahli yang mau bekerja di tempat ini.Mereka beralasan selain medannya sulit, ada banyak pekerja yang meninggal karena tiba-tiba jatuh sakit. Namun, perusahaan kereta api Belanda terus berusaha menyelesaikan pembangunan jalur ini, sebab jalur ini sangat penting untuk mengangkut hasil bumi berupa kopra yang berlimpah di daerah tersebut.
Berbicara mengenai terowongan Wilhelmina tidak bisa dipisahkan dengan rencana,pengembangan jalur transportasi kereta api dikawasan selatan Jawa pada saat itu.Pembangunan jalur kereta api ini diusulkan oleh pihak swasta pada masa pemerintah Hindia Belanda. Terdapat berbagai argumentasi tentang perlunya dibangun jalur kereta api ini, yakni sebagai berikut:
Pada tahun 1898, F.J Nellensteyn mengajukan konsesi pembangunan trem penghubung Pameungpeuk-Rancaherang-Klapagenep-Cijulang-Parigi-Cikembulan-Kalipucang-Padaherang-Banjar. Konsesi tersebut diterima pemerintah, tetapi Nellensteyn sendiri tak mengerjakan proyek yang diajukan itu.Pada tahun yang sama, usul datang dari H.J Stroband. Ia mengajukan konsesi pembangunan trem uap dengan jalur yang lebih pendek dari usulan Nellensteyn, yaitu Banjar-Banjarsari-Kalipucang-Cikembulan-Parigi-Cijulang. Namun, usulannya ditolak pemerintah.
Kemudian Eekhout van Pabst dan Lawick van Pabst. Akan tetapi, seperti usul sebelumnya, usul Eekhout dan van Pabst pun tidak ditindaklanjuti.Latar belakang dari pengajuan pembangunan jalur kereta-api tersebut dilatarbelakangi kepentingan ekonomi. Di sekitar Banjar terdapat banyak perkebunan yang sangat memerlukan sarana transportasi memadai untuk proses pengangkutan. Di antara perkebunan itu adalah perkebunan Lawang Blengbeng, Leuweung Kolot I, Leuweung Kolot II, Bantardawa I, Bantardawa II, Cikaso I, Cikaso II, Banjarsari I, dan Banjarsari II. Semua perkebunan itu milik kalangan swasta dari Eropa.
Di samping itu, hasil pertanian yang melimpah di Priangan tenggara dan lembah Parigi merupakan pertimbangan lain di balik usul pembangunan jalur tersebut. Di kawasan itu banyak padi hasil panen petani yang sudah disimpan lebih dari enam tahun karena kesulitan dalam pengangkutan ke luar daerah. Ditambah lagi, seperti dikemukakan van Pabst, di sepanjang jalur Banjar-Cijulang banyak tanah yang bisa dimanfaatkan sebagai sawah dan tegal.Selama ini hasil perkebunan dan pertanian dari Banjar hingga Parigi itu diangkut melalui jalur darat (roda) atau sungai (perahu) menuju Cilacap (Jawa Tengah). Pengangkutan dengan cara ini membutuhkan waktu lama dan berbiaya tinggi. Dengan pembangunan jalur kereta di daerah tersebut, diharapkan hasil pertanian dan perkebunan bisa diangkut dengan cepat ke Banjar dan dari Banjar ke Cilacap.Pada akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 Cilacap merupakan salah satu pelabuhan paling ramai di Pulau Jawa dan satu-satunya di pesisir selatan Pulau Jawa. Pada masa itu produk pertanian dan perkebunan dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Priangan dikapalkan ke luar negeri melalui pelabuhan ini.(Wikipedia)
Residen Priangan sendiri baru mengajukan pembangunan jalur kereta api Banjar-Parigi pada 1908. Pengajuan ini disertai nota Asisten Residen Sukapura dan Kontrolir Manonjaya. Alasan yang dikemukakan Residen Priangan tak jauh beda dengan yang dikemukakan kalangan swasta, yaitu untuk meningkatkan eksploitasi ekonomi dan pengembangan wilayah Priangan timur dan tenggara.Setelah melalui pertimbangan yang cukup lama, berdasarkan undang-undang tanggal 18 Juli 1911, pemerintah kolonial memutuskan untuk membangun jalur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi. Pembangunan jalur ini sesuai dengan yang diusulkan Residen Priangan.
Ketika pembangunan jalur kereta sampai di Kalipucang, muncul usul lain. Usul ini disampaikan oleh Inspektur Sementara StaatSpoor(Kereta Api Negara) Radersma. Ia mengusulkan agar dari Kalipucang pembangunan tidak dilanjutkan ke Parigi, tetapi ke Kawunganten. Alasannya, jalur ini lebih dekat menuju Cilacap. Namun, pembangunan jalur ini harus melalui lereng gunung yang ditumbuhi hutan dan terdapat batuan andesit yang hanya bisa dihancurkan dengan dinamit. Akhirnya, usulan ini pun ditolak dan rencana semula diteruskan kembali.Ketika pembangunan rel sudah sampai di Parigi, ternyata daerah itu dinilai kurang cocok sebagai ujung pemberhentian. Kemudian, pembangunan dilanjutkan 5 kilometer lagi hingga Cijulang. Cijulang dianggap cocok sebagai pemberhentian terakhir karena memiliki lembah unik yang dapat meneruskan jalur sampai Tasikmalaya atau sepanjang pantai selatan sampai Pameungpeuk.Jalur Banjar-Kalipucang resmi dibuka pada tanggal 15 Desember 1916 disusul dengan jalur Kalipucang-Cijulang yang dibuka pada tanggal 1 Januari 1921
Keberadaan jalur kereta api ini akhirnya menjadi tulang punggung sarana transportasi di wilayah Kabupaten Ciamis khususnya kawasan Banjar hingga Cijulang dan sekitarnya hingga dekade 1980-an. Hal ini dikarenakan jalan raya yang menghubungkan Banjar-Cijulang dan kawasan sekitarnya belum berkembang dengan baik dan sarana transportasi darat saat itu masih terbilang langka. Mundurnya jalur ini hingga dihentikannya pada dekade 1980-an disebabkan karena persaingan dengan moda transportasi jalan raya yang semakin tumbuh dan berkembang. Disisi lain (PT. Kereta Api Indonesia ) mengalami kerugian dalam mengoperasikan jalur ini dan biaya perawatan dan perbaikan sarana dan prasarananya cukup mahal.(Wikipedia)
Keberadaan terowongan saat ini cukup memprihatinkan,karena tidak mendapat perawatan maka terowongan dipenuhi semak belukar.Suasana mistis begitu terasa ketika menjejakan kaki di sini,terowongan sepanjang satu kilometer lebih ini memiliki kontur tegak lurus.Dari titik awal memasuki terowongan kita bisa melihat ujung dari terowongan sebagai satu titik cahaya.


Post a Comment

0 Comments